Kekuatan Packaging Unik Suatu Produk
Minggu malam (28/2/22), saya mendapat oleh-oleh dari salah satu sahabat yang baru saja pulang melancong dari Bali. Oleh-oleh yang diberikan, tak lain ialah “Dodol Bali”. Ternyata, dodol bukan hanya milik orang Garut yang cukup terkenal itu lho…!, Di Bali ternyata juga ada dodol…!
Saya tak akan membahas asal muasal dodol Bali, karena saya sendiri bukan Sosiolog Makanan, yang bisa menjelaskan secara lengkap. Akan tetapi, saya hanya seseorang yang baru saja diberi dodol oleh salah seorang sahabat yang baru pulang dari Bali. Hehehehe…! Kok jadi muter-muter…!
Pertama kali saya menerima darinya, tak ada ketakjuban dari oleh-oleh tersebut. Namun, setelah saya buka perlahan-lahan oleh-oleh yang berbentuk kotak. Dengan ukuran, panjang: 19,5 cm, lebar: 7 cm, dan tinggi: 3 cm. Hati saya langsung berdecak kagum pada produsen dodol tersebut.
Ya lebih tepatnya, oleh-oleh tersebut berbentuk kotak. Kalo kata anak SD yang baru belajar Matematika tentang bangun ruang, maka oleh-oleh tersebut tepatnya berbentuk balok. Untuk lebih jelas, lihatlah seperti gambar yang ada di atas. Itu sampe’ saya fotoin, agar pembaca blog ini, dapat menggambarkan dengan sendiri, bagaimana besarnya packaging kotak “Dodol Bali”.
Hal yang sangat menarik lagi, setelah saya bukan perlahan-lahan, ternyata isi dodol yang ada di dalam kotak berbentuk balok tersebut, hanya berisi 8 biji. Wawwww….! Dahsyat dong…! Hanya berisi 8 biji saja.
Ya, tentu dahsyat…! Anda dapat membayangkan sendiri kan, kotak yang cukup besar, hanya diisi dengan 8 biji dodol. Dan bentuk dodolnya pun, sama seperti di gambar atas. Atau, sama seperi dodol-dodol yang sering kita beli, yang kulit luarnya dibalut dengan plastik. Bila diukur dengan penggaris, memiliki panjang sekitar 6,5 cm, dan diameter lingkaran 1 cm.
Menurut saya, ide menjual dodol yang isinya hanya 8 biji tersebut, merupakan ide yang cukup maknyus. Apalagi dipasarkan di area sekitar wisata. Konsumen tidak akan dipusingkan dengan harga yang dibandrol. Karena, orang-orang yang pergi berwisata, adalah orang yang tentu memiliki budget lebih. Dan bukan orang-orang yang tidak memiliki uang.
Kembali lagi ke dodol Bali tersebut, bayangkan saja, jika seandainya tidak di-packaging dengan karton berbentuk balok. Tentu dodol yang hanya isi 8 biji tersebut, tidak akan laku dibandrol Rp 7.500. Ingat ya, harga dodol tersebut Rp 7.500 sesuai dengan bandrol yang ada di atas karton.
Sebagai contoh, jika seandainya dodol yang saya kisahkan di atas, tidak disajikan dengan tampilan packaging karton yang menarik, yang di atasnya ada gambar orang dengan pakaian adat Bali. Dan seolah hendak menggambarkan bahwa makanan tersebut berasal dari Bali, tentu akan sulit terserap ke tangan konsumen dengan harga Rp 7.500 ketika beriwsata ke Bali.
Terkadang, kita merasa sayang mengeluarkan cost (uang) sebagai ongkos produksi (variable cost/biaya variabel) untuk mempercantik tampilan. Karena, pemikiran kita masih tertuju pada fungsi dari tampilan tersebut. “Ah nanti bungkusnya juga dibuang”, “Ah buat apa mahal-mahal beli karton seperti itu, toh juga nanti dibuang dan yang dimakan isinya saja,” begitulah yang sering kita kicaukan.
Padahal, seorang konsumen membutuhkan waktu sekitar 5-10 detik untuk memutuskan, apakah dirinya mau memegang produk yang dipajang di display produk yang kita hasilkan. Setelah tertarik untuk memegangnya, kemudian membaca sekilas keterangan yang ada di atas karton/pebungkus. Beberapa saat setelah membaca, barulah menanyakan pada penjual. Nah, dari pertanyaan tersebutlah, si penjual harus bisa mengubah status “CALON KONSUMEN” menjadi “KONSUMEN”.
Sebagai contoh, dari gambar dodol Bali yang saya ceritakan di atas, gambar yang dipajang ialah gambar orang dengan pakaian adat Bali. Sehingga, dengan melihat gambar tersebut sejenak, orang bisa menyatakan dengan cepat bahwa produk tersebut berasal dari bali.
Contoh lain, Packaging Tape’ Bondowoso, Jawa Timur. Yang pernah beli, atau punya pengalaman, pasti mengetahui uniknya. Bagi yang penasaran, cek google aja ya, biar gak penasaran, hehehehe…!
Packaging Tape’ Bondowoso cukup unik. Yaitu dibungkus dengan anyaman bambu tipis, yang di luarnya sudah tertera, tanggal berapa tape’ tersebut mateng dan layak dikonsumsi. Dengan melihat tempat anyaman seperti hal tersebut, orang sudah dapat menebak bahwa packaging tersebut ialah tape’ Bondowoso.
Ketiga hal tersebut penting, sebagai informasi awal untuk diketahui oleh konsumen. Sehingga, status “CALON KONSUMEN” berubah menjadi “KONSUMEN” setelah mengetahui informasi yang ditampilkan di atas packaging/karton pembungkus produk yang kita hasilkan.
Jangan sampai, hanya gara-gara satu perijinan yang tidak kita laksanakan, membuat produk yang kita pasarkan disangsikan oleh konsumen. Konsumen merasa, produk yang kita hasilkan tidak nyaman. Sehingga keputusan untuk membeli, berubah secara drastis setelah mengetahui salah satu perijinan tidak ditunaikan.
Ada dua hal perijinan yang sifatnya wajib ditunaikan oleh pelaku UKM, yaitu LP-POM MUI dan P-IRT Dep. Kes.
Perijinan dari LP-POM MUI, menandakan bahwa produk yang kita hasilkan benar-benar “HALAL” dan tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan yang bersifat najis atau diharamkan. Sehingga, hati konsumen tidak lagi wawas kala membeli produk yang kita hasilkan.
Selain itu, adanya perijinan LP-POM MUI, menandakan bahwa kita telah mengakomudir potensi konsumen muslim. Karena, dari penelitian Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS-UGM), bahwa ummat Islam Indonesia berjumlah 207,2 juta jiwa atau 87,18 persen, berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 dan 2010. Bagi pebisnis UKM yang tak mau mengurus ijin LP-POM MUI, berarti telah menghilangkan potensi konsumen lokal/dalam negeri yang berjumlah 87,18%, yang seharusnya menjadi target pasar.
Dan selanjutnya adalah P-IRT Dep. Kes. Di mana, P-IRT Dep. Kes menandakan atau menginformasikan kepada konsumen, bahwa produk yang kita hasilkan benar-benar sehat dan bisa dikonsumsi. Hal tersebut, sebagai salah satu cara untuk meyakinkan konsumen terhadap produk yang kita hasilkan.
Jika kita mengenyampingkan ijin P-IRT Dep. Kes, maka siap-siaplah kita ditinggalkan oleh konsumen. Disebabkan ada ketidak percayaan konsumen atas produk y ang kita hasilkan. Jika konsumen sudah tidak percaya terhadap produk yang kita hasilkan. Maka sudah bisa dipastikan bisnis yang kita jalankan akan cepat-cepat tutup, alias bangkrut.
Nah, itulah beberapa hal yang dapat kita petik pelajaran, dari pengalaman saya setelah diberi oleh-oleh makanan khas Bali. Ingat lho, gambar ilustrasi di atas itu, sengaja saya foto untuk memudahkan ilustrasi di benak pembaca. Dan bukan untuk ajang promosi produknya tersebut lho….!
Tapi, jangan khawatir…! Bagi pembaca yang mau produknya dipromosikan di blog ini, bisa kontek-kontek saya sebagai pemilik blog ini. Pembacanya cukup lumayan kok, walaupun masih tergolong blog ini baru.
Waduh, kok ngelantur kemana-mana. Bukannya nyudahin tulisan, malah nyempet-nyempetin masarin blog pribadi, hehehehe…! Soft selling dikit kelesss….!!!
Okeh sahabat-sahabat saya yang budiman, kembali lagi ke topik awal kita, yaitu Packaging. Setelah membaca tulisan ini, jangan sampai kita menyepelekan Packaging dari produk yang kita hasilkan.
Salam sukses untuk kita semua….!
Pertama kali saya menerima darinya, tak ada ketakjuban dari oleh-oleh tersebut. Namun, setelah saya buka perlahan-lahan oleh-oleh yang berbentuk kotak. Dengan ukuran, panjang: 19,5 cm, lebar: 7 cm, dan tinggi: 3 cm. Hati saya langsung berdecak kagum pada produsen dodol tersebut.
Ya lebih tepatnya, oleh-oleh tersebut berbentuk kotak. Kalo kata anak SD yang baru belajar Matematika tentang bangun ruang, maka oleh-oleh tersebut tepatnya berbentuk balok. Untuk lebih jelas, lihatlah seperti gambar yang ada di atas. Itu sampe’ saya fotoin, agar pembaca blog ini, dapat menggambarkan dengan sendiri, bagaimana besarnya packaging kotak “Dodol Bali”.
Hal yang sangat menarik lagi, setelah saya bukan perlahan-lahan, ternyata isi dodol yang ada di dalam kotak berbentuk balok tersebut, hanya berisi 8 biji. Wawwww….! Dahsyat dong…! Hanya berisi 8 biji saja.
Ya, tentu dahsyat…! Anda dapat membayangkan sendiri kan, kotak yang cukup besar, hanya diisi dengan 8 biji dodol. Dan bentuk dodolnya pun, sama seperti di gambar atas. Atau, sama seperi dodol-dodol yang sering kita beli, yang kulit luarnya dibalut dengan plastik. Bila diukur dengan penggaris, memiliki panjang sekitar 6,5 cm, dan diameter lingkaran 1 cm.
Menurut saya, ide menjual dodol yang isinya hanya 8 biji tersebut, merupakan ide yang cukup maknyus. Apalagi dipasarkan di area sekitar wisata. Konsumen tidak akan dipusingkan dengan harga yang dibandrol. Karena, orang-orang yang pergi berwisata, adalah orang yang tentu memiliki budget lebih. Dan bukan orang-orang yang tidak memiliki uang.
Kembali lagi ke dodol Bali tersebut, bayangkan saja, jika seandainya tidak di-packaging dengan karton berbentuk balok. Tentu dodol yang hanya isi 8 biji tersebut, tidak akan laku dibandrol Rp 7.500. Ingat ya, harga dodol tersebut Rp 7.500 sesuai dengan bandrol yang ada di atas karton.
Tampilan Harus Menarik
Pebisnis UKM saat ini sudah mulai banyak yang sadar diri, bahwa bisnis makanan bukan saja mengenai cita rasa setelah masuk di tenggorokan. Bisnis UKM ialah bisnis yang terintegrasi antara rasa, tampilan, marketing, hingga cara pemesanan secara on-line.Sebagai contoh, jika seandainya dodol yang saya kisahkan di atas, tidak disajikan dengan tampilan packaging karton yang menarik, yang di atasnya ada gambar orang dengan pakaian adat Bali. Dan seolah hendak menggambarkan bahwa makanan tersebut berasal dari Bali, tentu akan sulit terserap ke tangan konsumen dengan harga Rp 7.500 ketika beriwsata ke Bali.
Terkadang, kita merasa sayang mengeluarkan cost (uang) sebagai ongkos produksi (variable cost/biaya variabel) untuk mempercantik tampilan. Karena, pemikiran kita masih tertuju pada fungsi dari tampilan tersebut. “Ah nanti bungkusnya juga dibuang”, “Ah buat apa mahal-mahal beli karton seperti itu, toh juga nanti dibuang dan yang dimakan isinya saja,” begitulah yang sering kita kicaukan.
Padahal, seorang konsumen membutuhkan waktu sekitar 5-10 detik untuk memutuskan, apakah dirinya mau memegang produk yang dipajang di display produk yang kita hasilkan. Setelah tertarik untuk memegangnya, kemudian membaca sekilas keterangan yang ada di atas karton/pebungkus. Beberapa saat setelah membaca, barulah menanyakan pada penjual. Nah, dari pertanyaan tersebutlah, si penjual harus bisa mengubah status “CALON KONSUMEN” menjadi “KONSUMEN”.
Gambar dan Tampilan Harus Mewakili
Gambar yang ditampilkan dalam packaging sebuah produk, harus mampu menampilkan atau menggambarkan jati diri produk tersebut. Sehingga, dari gambar, calon konsumen langsung bisa mengidentifikasi bahwa produk tersebut berasal dari suatu daerah yang ada di Indonesia.Sebagai contoh, dari gambar dodol Bali yang saya ceritakan di atas, gambar yang dipajang ialah gambar orang dengan pakaian adat Bali. Sehingga, dengan melihat gambar tersebut sejenak, orang bisa menyatakan dengan cepat bahwa produk tersebut berasal dari bali.
Contoh lain, Packaging Tape’ Bondowoso, Jawa Timur. Yang pernah beli, atau punya pengalaman, pasti mengetahui uniknya. Bagi yang penasaran, cek google aja ya, biar gak penasaran, hehehehe…!
Packaging Tape’ Bondowoso cukup unik. Yaitu dibungkus dengan anyaman bambu tipis, yang di luarnya sudah tertera, tanggal berapa tape’ tersebut mateng dan layak dikonsumsi. Dengan melihat tempat anyaman seperti hal tersebut, orang sudah dapat menebak bahwa packaging tersebut ialah tape’ Bondowoso.
Keterangan Harus Lengkap
Hal lain yang harus diperhatikan dalam packaging produk ialah keterangan yang cukup lengkap. Berilah keterangan yang super lengkap dari produk yang kita pasarkan di atas packaging/karton pembungkus. Beberapa keterangan yang harus diiformasikan, antara lain: komposisi produk, berat, exp. date/tanggal kadeluarsa, dan daftar harga yang ditawarkan.Ketiga hal tersebut penting, sebagai informasi awal untuk diketahui oleh konsumen. Sehingga, status “CALON KONSUMEN” berubah menjadi “KONSUMEN” setelah mengetahui informasi yang ditampilkan di atas packaging/karton pembungkus produk yang kita hasilkan.
Perizinan Harus Lengkap
Hal lain yang tak boleh dikesampingkan ialah perijinan dari produk yang kita hasilkan. Ini penting bagi pebisnis UKM, untuk mengurus seluruh aspek perijinan, berkenaan dengan produk yang kita hasilkan.Jangan sampai, hanya gara-gara satu perijinan yang tidak kita laksanakan, membuat produk yang kita pasarkan disangsikan oleh konsumen. Konsumen merasa, produk yang kita hasilkan tidak nyaman. Sehingga keputusan untuk membeli, berubah secara drastis setelah mengetahui salah satu perijinan tidak ditunaikan.
Ada dua hal perijinan yang sifatnya wajib ditunaikan oleh pelaku UKM, yaitu LP-POM MUI dan P-IRT Dep. Kes.
Perijinan dari LP-POM MUI, menandakan bahwa produk yang kita hasilkan benar-benar “HALAL” dan tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan yang bersifat najis atau diharamkan. Sehingga, hati konsumen tidak lagi wawas kala membeli produk yang kita hasilkan.
Selain itu, adanya perijinan LP-POM MUI, menandakan bahwa kita telah mengakomudir potensi konsumen muslim. Karena, dari penelitian Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS-UGM), bahwa ummat Islam Indonesia berjumlah 207,2 juta jiwa atau 87,18 persen, berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 dan 2010. Bagi pebisnis UKM yang tak mau mengurus ijin LP-POM MUI, berarti telah menghilangkan potensi konsumen lokal/dalam negeri yang berjumlah 87,18%, yang seharusnya menjadi target pasar.
Dan selanjutnya adalah P-IRT Dep. Kes. Di mana, P-IRT Dep. Kes menandakan atau menginformasikan kepada konsumen, bahwa produk yang kita hasilkan benar-benar sehat dan bisa dikonsumsi. Hal tersebut, sebagai salah satu cara untuk meyakinkan konsumen terhadap produk yang kita hasilkan.
Jika kita mengenyampingkan ijin P-IRT Dep. Kes, maka siap-siaplah kita ditinggalkan oleh konsumen. Disebabkan ada ketidak percayaan konsumen atas produk y ang kita hasilkan. Jika konsumen sudah tidak percaya terhadap produk yang kita hasilkan. Maka sudah bisa dipastikan bisnis yang kita jalankan akan cepat-cepat tutup, alias bangkrut.
Nah, itulah beberapa hal yang dapat kita petik pelajaran, dari pengalaman saya setelah diberi oleh-oleh makanan khas Bali. Ingat lho, gambar ilustrasi di atas itu, sengaja saya foto untuk memudahkan ilustrasi di benak pembaca. Dan bukan untuk ajang promosi produknya tersebut lho….!
Tapi, jangan khawatir…! Bagi pembaca yang mau produknya dipromosikan di blog ini, bisa kontek-kontek saya sebagai pemilik blog ini. Pembacanya cukup lumayan kok, walaupun masih tergolong blog ini baru.
Waduh, kok ngelantur kemana-mana. Bukannya nyudahin tulisan, malah nyempet-nyempetin masarin blog pribadi, hehehehe…! Soft selling dikit kelesss….!!!
Okeh sahabat-sahabat saya yang budiman, kembali lagi ke topik awal kita, yaitu Packaging. Setelah membaca tulisan ini, jangan sampai kita menyepelekan Packaging dari produk yang kita hasilkan.
Salam sukses untuk kita semua….!